Selasa, 12 Februari 2013

lp halusinasi


Makalah Asuhan Keperawatan dengan Halusinasi



BAB I
PENDAHULUAN


A.         LATAR BELAKANG

Perawat adalah orang yang paling dekat dan sangat intens dengan klien, bagaimanapun juga kenyataan ini tidak dapat dipungkiri. Terlebih lagi klien dengan gangguan mental, sehingga pada proses penyembuhannya akan sangat dipengaruhi dan tergantung bagaimana pola asuhan keperawatan yang diberikan.
Dalam penulisan kali ini, penulis mengangkat judul “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi” dengan alasan Halusinasi merupakan persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata. Yang dampak dari halusinasi ini dapat mengarah ke tindakan merusak/mencederai diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Disamping alasan tersebut Halusinasi merupakan materi yang menarik untuk dipelajari dan dijadikan bahan dalam presentasi/seminar.

B.         TUJUAN

1.      Penulisan ditujukan untuk memenuhi tugas kuliah
2.      Setelah melakukan presentasi diharapkan mahasiswa mampu menggambarkan secara umum bagaimana melakukan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan gangguan halusinasi.
3.      Mahasiswa mampu mendeskripsikan bagaimana melakukan pengkajian terhadap klien dengan halusinasi.

 






BAB II
ISI


A.         PENGERTIAN

Persepsi adalah identifikasi dan interprestasi stimulasi atau rangsangan berdasarkan informasi yang diterima oleh lima alat indra, yaitu : Penglihatan, pengecapan, pendengaran, perabaan, dan penciuman.
Perubahan persepsi sensori adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan dalam jumlah dan pola dari stimulasi yang mendekat (yang diprakasai secara internal atau eksternal) disertai dengan suatu pengurangan, berlebih-lebihan atau kelainan berespon terhadap setiap stimulus.
(Mary C Townsend, 1998)
Halusinasi merupakan pengindraan tanpa sumber rangsang external. Hal ini dibedakan dari distrori atau ilusi yang merupakan tanggapan salah dari rangsangan yang nyata, paling tidak untuk suatu saat tertentu.
(Kaplan Sadock, 1998)
Halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulas yang nyata artinya klien menginterpretasikan sesuatu yang nyata tanpa stimulus atau rangsangan tertentu.
(Mary C. Town Send, 1998)
Halusinasi adalah penyerapan tanpa adanya rangsangan apapun pada panca indra seseorang yang sadar atau bangun, dasarnya bisa psikotik, fungsional, organik ataupun histrik.
(Maramis, 1998)


B.         JENIS HALUSINASI

Ø  Halusinasi ada 5 macam yaitu pendengaran, penglihatan, pengecapan, penciuman, dan perabaan.

1.      Halusinasi pendengaran (auditorik) : Klien mendengar suara-suara atau bunyi tidak sesuai dengan stimulus yang ada dan orang lain tidak mendengarnya.
2.      Halusinasi penglihatan (vixual) : klien mendapat gambaran yang jelas atau samar tanpa stimulus yang nyata dan orang lain tidak melihatnya.
3.      Halusinasi penciuman (Olfaktori) : klien mencium bau yang muncul tanpa stimulus yang nyata dan orang lain tidak menciumnya.
4.      Halusinasi pengecapan (gustaktori : klien merasa makan sesuatu yang tidak nyata.
5.      Halusinasi perabaan (taktik) : klien merasakan sesuatu pada tubuhnya tanpa stimulus yang nyata.
(Cancro & Lehmant, 2000)

Ø  Halusinasi ada 7 jenis, yaitu:
1.      Pendengaran.
Karakteristik: Mendengar suara-suara atau kebisingan paling sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang klien bahkan sampai ke percakapan lengkap antara dua orang
2.      Penglihatan.
Karakteristik: Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar kartoon, bayangan yang rimut atau kompleks. Bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster.



3.      Penghidung.
Karakteristik: Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urine atau feses, umunya bau-bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi penghidung sering akibat stroke, tumor, kejang atau dementia.
4.      Pengecap.
Karakteristik: Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urine atau feses
5.      Perabaan.
Karakteristik: Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
6.      Conesthetic.
Karakteristik: Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makanan, atau pembentukan urine.
7.      Kinesthetik.
Karakteristik:Merasakan pergerakan sementara tanpa bergerak.

 (Stuart dan Laria, 2001 : 409)

C.         RENTANG RESPON HALUSINASI

Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam rentang respon neurobiologi. Ini merupakan respon persepsi paling maladaptif. Jika klien yang sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang di terima mellui panca indra (pendengaran, pelihatan, penghidung, pengecapan, dan perabaan), klien dengan hausinasi mempersentasikan stimulus panca indra walaupun sebenarnya stimulus tersebut tidak ada. Diantara ke-2 respon tersebut adalah respon individu yang karena sesuatu hal mengalami kelainan persepsi yaitu salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya yang disebut sebagai ilusi. Klien mengalami indera tidak akurat sesuai stimulus yang diterima.



Rantang respon tersebut dapat digabarkan sebagai berikut :


 



Respon adaptif                                            Respon maladaptif


 


-          Pikiran logis                -     Distori pikiran       -     Gangguan pikir/delusi
-          Persepsi akurat            -     Ilusi                       -     Halusinasi
-          Emosi konsisten          -     Reaksi emosi         -     Sulit berespon emosi
dengan pengalaman          berlebihan atau
                                          kurang
-          Perilaku sesuai             -     Perilaku aneh atau -     Perilaku disorganisasi
                                                Tidak biasa
-          Berhubungan sosial     -     Menarik diri          -     Isolasi sosial
                                                    (Stuart dan Laria, 2001 : 403)


D.         FASE-FASE HALUSINASI

Halusinasi yang dialami oleh klien bisa berbeda intensitas dan keparahannya berdasarkan tingkat asisten yang dialami dan kemampuan klien mengendalikan dirinya, fase halusinasi dibagi menjadi 4. Semakin berat fase halusinasi, klien semakin berat mengalami ansietras dan makin dikendalikan oleh halusinasinya.

Tabel fase-fase halusinasi :
Fase I : Comforting Ansietas Sedang, Halusinasi menyenangkan
Ø  Karakteristik: Klien mengalami perasaan mendalam seperti asietas, kesepian, rasa bersalah dan takut dan mencoba untuk berfokus pada pikiran  menyenangkan untuk meredakan ansietas. Individu mengalami bahwa pikiran-pikiran dan pengalaman sensori berasda dalam kendali kesadaran jika asietas dapat ditangani

Ø  Perilaku klien: Tersenyum atau ketawa yang tidak sesuai.

Menggerakkan bibir tanpa suara. Pergerakan mata yang cepat. Respon verbal yang lambat jika sedang asyik. Diam dan asyik sendiri


Fase II : Coneming Asientas Berat, halusinasi menjadi menjijikkan.

Ø  Karakteristik: Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan.
Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipesepsikan. Klien mungkin mengalami dipermalukan oleg pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain.
Ø  Perilaku klien: Meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan denyuit jantung, pernafasan dan tekanan darah. Rentang perhatian menyempit. Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dan realita.

Fase III : Controling Asietas Berat pengalaman Sensori menjadi berkuasa

Ø  Karakteristik: Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi menjadi menarik. Klien mungkin mengalami pengalaman kesepian jika sensori halusinasi berhenti.

Ø   Perilaku klien: Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti. Kesukaran berhubungan dengan orang lain. Rentang perhatin hanya beberapa detik atau menit. Adanya tanda-tanda fisik, anseitas berat : berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah.


Fase IV : Conquering Panik

Umumnya menjadi melebur dalam halusinasinya.

Ø  Karakteristik: Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi. Halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak ada intervensi terasa peutik
Ø  Perilaku klien: Perilaku teror akibat panik. Potensi kliat suicide atau homicide.
Aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku kekerasan, agitas, menarik diri, atau katatonia. Tidak mampu berespon terhadap perintah yang komplex. Tidak mampu berespon lebih dari 1 orang.
 (Stuart dan Laria, 2001 : 424)




















BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN HALUSINASI

A.   PENGKAJIAN KLIEN HALUSINASI

Halusinasi merupakan salah satu gejala dan menentukan didiagnosisnya klien mengalami psikotik, khususnya schizophrenia. Pengkajian klien dengan halusinasi dengan demikian merupakan proses indentifikasi data yang tidak melekat erat dengan pengkajian respon neurobiologi lainnya seperti yang terdapat juga pada schizophrenia.

a.       Faktor Predisposisi
                               a.      Faktor genetis
               Telah diketahui bahwa secara genetis schizophrenia diturunkan melalui kromosom-kromosom tertentu. Namun demikian kromosom yang ke berapa yang menjadi faktor penentu gangguan ini, sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Di duga letak gen schizophrenia ada dikromosom no. 6. dengan kontribusi genetik tambahan no. 4, 8, 15 dan 22. Anak kember identik memiliki kemungkinan mengalami schizophrenia sbesar 50 % jika salah satunya mengalami schizophrenia, sementara jika di zigote peluangnya sebesar 15 %. Seorang anak yang salah satu orang tuanya mengalami schizophrenia berpeluang 15 % mengalami schizophrenia, sementara bila kedua orang tuanya schizophrenia, maka peluangnya menjadi 35 %.
                              b.      Faktor neurobiologi
               Ditemukan bahwa koetex prefrontal dan kortex limbik pada klien schizophrenia tidak pernah berkembang penuh. Ditemukan juga pada klien schizophrenia terjadi penurunan volume normal, khususnya dopamin, serotonin dan glutamat.
                               c.      Studi neurotransmiter
               Schizophrenia diduga juga disebabkan oleh adanya ketidak seimbangan neurotransmiter. Dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar serotin.
                              d.      Teori virus
               Paparan virus influenze pada trimester ke-3 kehamilan dapat menjadi faktor predisposisi schizophrenia.
                               e.      Psikologis.
               Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi schizophrenia antara lain: anak yang diperlakukan oleh ibu yangpencemas, terlalu melindungi, dingin dan tak berperasaan, sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya.

b.      Faktor Presipitasi
                               a.      Berlebihannya proses informasi pada sistem syaraf yang menerima dan memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
                              b.      Mekanisme gejala penghantar listrik di syaraf terganggu.
                               c.      Gejala-gejala pemicu seperti kondisi kesehatan, lingkungan, sikap dan perilaku.
v   Kesehatan :         
a.                   Nutrisi kurang
b.                   Kurang tidur
c.                   Ketidakseimbangan irama, sirkadian
d.                  Kelelahan
e.                   Infeksi
f.                    Obat-obat sistem syaraf pusat
g.                   Kurangnya latihan
h.                   Hambatan untuk menjangkau pelayanan kesehatan

v   Lingkungan :
a.                   Lingkungan yang memusuhi
b.                   Masalah dirumah tangga
c.                   Kehilangan kebebasan hidup
d.                  Perubahan pola hidup
e.                   Kesukaran dalam hubungan dengan orang lain
f.                    Isolasi sosial
g.                   Kurangnya dukungan sosial
h.                   Tekanan kerja (kurang ketrampilan dalam bekerja)
i.                     Stigmasisasi
j.                     Kemiskinan
k.                   Kurangnya alat trasportasi
l.                     Ketidakmampuan mendapat pekerjaan

v   Sikap dan perilaku :
a.                   Merasa tidak mampu (harga diri rendah)
b.                   Putus asa (tidak percaya diri)
c.                   Merasa gatal (Kehilangan motivasi menggunakan ketrampilan diri)
d.                  Kehilangan kendali diri (demoralisasi)
e.                   Merasa punya kekuatan berlebihan dengan gejala tersebut
f.                    Merasa malang
g.                   Bertindak seperti orang lain dari segi usia maupun      kebudayaan
h.                   Rendahnya kemampuan sosialisasi
i.                     Perilaku agresif
j.                     Perilaku kekerasan
k.                   Ketidakedukatan pengobatan
l.                     Ketidakedukatan penanganan gejala


c.       Mekanisme kopling
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi meliputi :
                                          a. Regresi menjadi malas beraktivitas sehari-hari
                                          b. Proyeksi mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu benda
                                          c. Menarik diri sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal
                                         d. Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien

d.      Perilaku
Halusinasi benar-benar riil dirasakan oleh klien yang mengalaminya seperti mimpi saat tidur. Klien mungkin tidak punya cara untuk menentukan persepsi tersebut nyata. Sama halnya seperti seseorang yag mendengarkan siaran ralaman cuaca dan tidak lagi meragukan orang yang berbicra tentang cuaca tersebut. Ketidakmampuannya untuk mempersepsikan stimulus secarariil dapat menyulitkan kehidupan klien. Karenaya halusinasi harus menjadi prioritas untuk segera diatasi. Sangat penting untuk memberi kesempatan klien menjelaskan tentang halusinasi yang dialaminya secara leluasa. Perawat membutuhkan kemampuan untuk berbicara tentang halusinasi, karena dengan perbincangan hausinasi dapat menjadi indikator sejauh mana gejala psikotik klien diatasi. Untuk memfasilitasinya klien perlu dibuat nyaman untuk menceritakan perihal halusinasinya.
Klien yang mengalami halusinasi serig kecewa karena mendapatkan respon negatif ketika mereka menceritakan halusinasinya kepada orang lain. Karenanya banyak klien kemudian enggan untuk menceritakan pengalaman-pengalaman aneh halusinasinya. Kemampuan untuk bercakap-cakap tentang halusinasi yag dialami oleh klien sangat penting untuk memastikan dan menyalidasi pegalaman halusinasi tersebut. Perawat harus memiliki ketulusan dan perhatian yang penuh untuk dapat memfasilitasi percakapan tentang halusinasi.
Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung pada jenis halusinasinya.
Apabila perawat mengidentifikasi adanya tanda-tanda dan perilaku halusinasi maka pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya sekedar mengetahui jenis halusinasinya saja. Validasi informasi tentang halusinasi yang diperlukan meliputi :

                               a.      Isi halusinasi yang dialami oleh klie
               Ini dapat dikaji dengan menyatakan suara siapa yang didengar, berkata apabila halusinasi yang dialami adalah halusinasi dengar. Atau apa bentuk bayangan yang dilihat oleh klien, bila jenis halusinasinya adalah halusinasi [englihatan, bau apa yang tercium untuk halusinasi penghidu. Rasa apa yang dikecap untuk halusinasi pengecapan atau merasakan apa dipermukaan tubuh bila halusinasi perabaan.
                              b.      Waktu dan frekuensi halusinasi
Dapat dikaji dengan menanyakan pada klien kapan pengalaman halusinasi itu muncul berapa kali sehari, seminggu atau sebulan pengalaman halusinasi muncul. Bila mungkin klien diminta menjelaskan kapan persisnya waktu halusinasi tersebut. Informasi ini penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dan menentukan bilamana klien perlu diperhatikan saat mengalami halusinasi
                               c.      Situasi pencetus halusinasi
Dapat dikaji dengan menanyakan persitiwa atau kejadian yang dialami sebelum halusinasi muncul. Perawat juga bisa mengobservasi apa yang dialami klien menjelang muncul halusinasi memvalidasi pernyataan klien.

                              d.      Respon klien
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien bisa dikaji dengan menanyakan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien masih bisa mengontrol stimulus halusinasi atau sudah tidak berdaya lagi terhadap halusinasi
(Akemat, 2002)

B.         DIAGNOSA KEPERAWATAN

Klien mengalami halusinasi dapat kehilangan kontrol dirinya sehingga bisa membahayakan diri sendiri, orang lain maupun merusak lingkungan. Hal ini terjadi jika halusinasi sudah sampai ke fase IV, dimana klien mengalami panik dan perilakunya dikendalikan oleh isi halusinasinya. Klien benar-benar kehilangan kemampuan penilaian realitas terhadap lingkungan. Dalam situasi ini klien dapat melakukan bunuh diri (suicide), membunuh orang lain  (homicide), bahkan merusak lingkungan.
Selain masalah yang diakibatkan oleh halusinasi, klien biasanya juga mengalami masalah-masalah keperawatan yang menjadi penyebab munculnya halusinasi. Masalah-masalah itu antara lain harga diri rendah dan isolasi sosial
(Stuart dan Laria, 2001).

Akibat rendah diri dan kurangnya ketrampilan berhubungan sosial klien menjadi menarik diri dan lingkungan. Dampak selanjutnya klien akan lebih terfokus pada dirinya. Stimulus internal menjadi lebih dominan dibanding stimulus internal dengan eksternal. Ini memicu terjadinya halusinasi.
Dari masalah-masalah tersebut, maka dapat disusun pohon maslah sebagai berikut :

Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

Perubahan sensori persepsi : halusinasi ….. (masalah utama)

Isolasi sosial : menarik diri

Gangguan konsep diri : harga diri rendah

(Kelit, 1999)



Dari pohon masalah diatas dapat dirumuskan diagnosa keperawatan sebagai berikut :
1)      Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan ingkungan berhubungan dengan halusinasi …
2)      Perubahan sensori persepsi : halusinasi … b.d menarik diri
3)      Isolasi sosial : menarik diri berhubugan dengan harga diri rendah.
                                                                                       (Akemat, 2002)

C.         TUJUAN ASUHAN KEPERAWATAN

Tujuan asuhan keperawatan pada klien halusinasi adalah sebagai berikut :
1)      Klien dapat membina hubungan saling percaya
2)      Klien mengenal halusinasi yang dialaminya.
3)      Klien dapat mengontrol halusinasi
4)      Klien mendapat dukungan keluarga untuk mengontrol halusinasi
5)      Klien dapat memanfaatkan obat untuk mengatasi halusinasi.
(Akemat, 2002)


D.         TINDAKAN KEPERAWATAN

Tindakan keperawatan untuk membantu klien mengatasi halusinasinya dimulai dengan membina hubugan saling percaya dengn klien. Hubungan saling percaya sangat penting dijalin sebelum mengintervensi klien lebih lanjut. Pertama-tama klien harus difasilitasi untuk merasa nyaman mencritakan pengalaman aneh halusinasinya agar informasi tentang halusinasi yang dialami oleh klien dapat diceritakan secara komprehensif. Untuk itu perawat harus meperkenalkan diri, membuat kontrak asuhan dengan klien bahwa keadaan perawat harus betul-betul untuk membantu klien. Perawat juga harus sabar, memperlihatkan penerimaan yang tulus dan aktif mendengar ungkapan klien saat menceritakan halusinasinya. Hindarkan menyalahkan klien atau mentertawakan klien walaupun pengalaman halusinasi yang diceritakan sangat aneh dan menggelikan bagi perawat. Perawatharus bisa mengendalikan diri agar tetap terapeutik.
Setelah hubungan saling percaya terjalin intervensi keperawatan selanjutnya nyadari bahwa pengalaman aneh halusinasi sebagai sesuatu yang harus diatasi. Untuk menyadarkan klien perawat harus mengehindari me-judgement bahwa persepsi klien salah. Perawat harus berupaya membawa klien pada kesadaran bahwa halusinasi sebagai riil tanpa meyalahkan klien. Untuk itu perawat bisa mengatakan bahwa ia sepenuhnya mengerti dan percaya bahwa klien mengalami pengalaman aneh tersebut, namun harus juga dikatakan bahwa perawat tidak mengalami seperti yang dialami oleh klien.
Membantu klien mengenali halusinasi juga dapat dilakukan dengan berdiskusi dengan klien tentang isi halusinasi, aktu dan frekuensi terjadinya halusinasi serta apa yang klien lakukan jika halusinasi itu muncul. Apakah klien mengkonsumsi zat atau obat-obatan tertentu. Ada obat-obatan tertentu yang bersifat halusigonik. Karena itu pengkajian tentang obat atau zat yang dikonsumsi sebelumya perlu dilakukan. Klien juga perlu difasilitasi untuk meneritakan perbedaan kondisinya saat mengalami halusinasi dengan saat sebelum atau sesudah pengalaman halusinasi tersebut muncul. Bantu klien untuk menguraikan pikiran, perasaan dan tindakannya yang berkaitan dengan halusinasi yang dialami. Klien juga perlu dibantu untuk nenyadari apa kebutuhan yang tidak terpenuhi sehingga muncul dalam berbagai tindakan ini diharapkan klien akan mengenal hausinasi sebagai masalah yang perlu diatasi sehingga akan termotivasi untuk melakukan tindakan atau terapi mengontrol halusinasi yang dialaminya.
Setelah kien menyadari halusinasi yang dialaminya adalah masalah yang harus diatasi maka selanjutya klien perlu dilatih bagaimana cara yang bisa dilakukan dan terbukti efektif mengatasi halusinasi. Proses ini dimulai dengan mengkaji pengalaman klien mengatasi halusinasi (jika klien pernah mencobanya). Bila ada beberapa usaha klien telah dilakukan untuk mengatasi halusinasi, perawat perlu mendiskusikan efektifitas dari cara tersebut.
Cara yang paling efektif bisa diterapkan, sementara jika cara yang dilakukan tidak efektif perawat dapat membantu dengan cara-cara beru. Ada beberapa cara yang bisa dilatihkan kepada klien untuk mengatasi halusinasi, meliputi :
1)      Menghardik halusinasi.
Halusinasi berasal dari stimulus internal. Untuk mengatasinya klien harus dilatih untuk melawan halusinasi yang dialaminya secara internal juga. Klien dilatih untuk mengatakan “tidak mau dengar …, tidak mau lihat”. Ini dianjurkan untuk dilakukan bila halusinasi muncul setiap saat
2)      Berinteraksi dengan orang lain.
Klien dianjurkan meningkatkan ketrampilan hubungan sosialnya. Dengan meningkatkan intensitas interaksi sosialnya, klien dapat memvalidasi persepsinya pada orang lain. Klien juga mengalami peningikatan stimulus external jika berhubungan dengan orang lian. Dan ahl ini akan mengurangi fokus perhatian klien terhadap stimulus internal yang menjadi sumber halusinasinya.
3)      Beraktivitas secara teratur dengan menyusun kegiatan harian.
Kebanyakan halusinasi muncul akibat banyaknya waktu luang yang tidak dimanfaatkan dengan baik oleh klien. Klien akhirnya asyik dengan halusinasinya. Untuk itu klien perlu dilatih menyusun rencana kegiatan dari sejak bangun tidur sampai enjelang dari tidur malam hari dengan kegiatan yang bermanfaat. Perawat harus selalu : memonitor pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga klien betul-betul tidak ada waktu lagi untuk melamun tidak terarah.
4)      Menggunakan obat.
Munculnya halusinasi akibat adanya ketidakseimbangan neurotransmiter di syaraf (dopamin, serotojin). Untuk itu klien perlu diberi penjelasan bagaimana kerja obat dapat mengatasi halusinasi. Serta bagaimana mengkonsumsi obat secara tepat sehingga tujuan pengobatan tercapai secara optimal. Pendidikan kesehatan dapat dilakukan dengan materi 5 benar dalam pemberian obat agar klien patuh untuk menjalankan pengobatan secara tuntas dan teratur
Keluarga perlu diberi penjelasan tentang bagaimana penanganan klien yang mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan kelaurga. Hal ini penting dilakukan dengan dua alsan. Pertama keluarga adalah sistem diaman aklien bevasal. Pengaruh sikap keluarg akan sangat menentukan kesehatan jiwa klien. Klien  mungkin sudah mampu mengatasi masalahnya, tetapi jika tidak didukung secara kuat klien bisa mengalami kegagalan lagi. Halusinasi bisa kambuh lagi. Alasan kedua halusinasi sebagai salah satu gejala psikosis bisa berlangsung lama (kronis), sekalipun klien pulang kerumah mungkin masih mengalami halusinasi. Dengan mendidik keluarga tentang cara penanganan halusinasi diharapkan keluarga dapat menjadi “terapis” begitu klien kembali dan hidup dirumah.
Untuk mengendalikan halusinasi, biasanya dokter memberikan psikofarmaka. Untuk itu selain terapi keperawatan, perawat juga perlu memfasilitasi klin untuk dapat menggunakan psikofarmaka secara tepat. Prinsip 5 benar harus menjadi fokus utama dalam pemberian obat. Bila pngendalian dengan obat ini telah berhasil terapi keperawatan akan dapat diterapkan dengan lebih optimal.
(Akemat, 2002).

E.          EVALUASI

Asuhan keperawatan klien dengan halusinasi berhasil jika klien menunjukkan kemampuan mandiri untuk mengontrol halusinasi dengan cara yang efektif yang dipilihnya. Klien juga diharapkan sudah mampu melaksanakan program pengobatan berkelanjutan mengingat sifat penyakitnya yang kronis.
Evaluasi asuhan keperawatan berhasil jika keluarga klien juga menunjukkan kemampuan menjadi sistem pendukung yang efektif untuk klien mengatasi masalah gangguan jiwanya. Kemampuan merawat dirumah dan menciptakan lingkungan kondusif bagi klien dirumah menjadi ukuran keberhasilan asuhan keperawatan disamping pemahaman keluarga untuk merujuk kefasilitas kesehatan yang sesuai jika muncul gejala-gejala velaps.
(Akemat, 2002).

BAB III
PENUTUP


A.         SIMPULAN

Halusinasi merupakan persepsi yang timbul tanpa stimulus yang nyata. Jika pasien mempunyai harga diri rendah atau bahkan sering menarik diri dari lingkungan sosialnya, halusinasi ini akan sering muncul sehingga pasien tak mampu lagi mengontrol dirinya. Akibat lanjut yang sering terjadi adalah tindakan untuk mencederai diri sendiri, orang lain atau merusak lingkungan. Diperlukan adanya komunikasi dan hubungan saling percaya antara perawat dan pasien. Disamping itu, diperlukan juga peran keluarga sebagai orang terdekat yang juga memegang peranan penting dalam proses penyembuhan pasien.

B.         SARAN

1.      Diharapkan mahasiswa sebagai calon-calon perawat harus mengusai teknik-teknik trapeutik, khususnya pada pasien dengan gangguan halusinasi.
2.      Diharapkan para tenaga kesehatan, khususnya perawat mampu melakukan pendekatan kepada pasien, sehingga mempermudah dalam memberikan asuhan keperawatan
3.      Adanya hubungan saling percaya antara perawat dan pasien, maupun keluarga dengan pasien sangat menunjang proses kesembuhan pasien
4.      Jangan bersikap acuh pada pasien, tapi berilah kepercayaan bahwa pasien merupakan individu yang memegang peranan penting dalam kehidupannya.


DAFTAR PUSTAKA


A Kemat, S.Kep. 2002. Asuhan Keperawatan Klien dengan Perubahan Persepsi Sensori. Pelatnas ASKEP Jiwa, Bogor.

Koplan H.I. MD amd Sadock BJ MD Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat, Widy Medika Jakarta.

Maramis, W.F. 1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Airlangga University Press Surabaya.

Stuart, G.W. dan Laria, M.T. 2001. Principles and Practice of Psychiatrie Nursing, St. Louis : Mosby

Stuart, G.W dan Sundeen, S.J. 1995. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi ke Tiga Cetakan Pertama EGC, Jakarta

Towsend M.C. 1998. Buku Saku Diagnosa pada Keperawatan  Psikiatri. Edisi ke-3 Cetakan Pertama, EGC, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar