Makalah Asuhan
Keperawatan dengan Halusinasi
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perawat adalah orang yang paling dekat dan sangat
intens dengan klien, bagaimanapun juga kenyataan ini tidak dapat dipungkiri.
Terlebih lagi klien dengan gangguan mental, sehingga pada proses penyembuhannya
akan sangat dipengaruhi dan tergantung bagaimana pola asuhan keperawatan yang
diberikan.
Dalam penulisan kali ini, penulis mengangkat judul
“Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi”
dengan alasan Halusinasi merupakan persepsi klien terhadap lingkungan tanpa
stimulus yang nyata. Yang dampak dari halusinasi ini dapat mengarah ke tindakan
merusak/mencederai diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Disamping alasan
tersebut Halusinasi merupakan materi yang menarik untuk dipelajari dan
dijadikan bahan dalam presentasi/seminar.
B. TUJUAN
1.
Penulisan ditujukan untuk memenuhi tugas kuliah
2.
Setelah melakukan presentasi diharapkan mahasiswa mampu
menggambarkan secara umum bagaimana melakukan Asuhan Keperawatan pada pasien
dengan gangguan halusinasi.
3.
Mahasiswa mampu mendeskripsikan bagaimana melakukan
pengkajian terhadap klien dengan halusinasi.
BAB II
ISI
ISI
A. PENGERTIAN
Persepsi adalah identifikasi dan interprestasi
stimulasi atau rangsangan berdasarkan informasi yang diterima oleh lima alat
indra, yaitu : Penglihatan, pengecapan, pendengaran, perabaan, dan penciuman.
Perubahan persepsi sensori adalah suatu keadaan dimana
seseorang mengalami perubahan dalam jumlah dan pola dari stimulasi yang
mendekat (yang diprakasai secara internal atau eksternal) disertai dengan suatu
pengurangan, berlebih-lebihan atau kelainan berespon terhadap setiap stimulus.
(Mary C Townsend, 1998)
Halusinasi merupakan pengindraan tanpa sumber rangsang
external. Hal ini dibedakan dari distrori atau ilusi yang merupakan tanggapan
salah dari rangsangan yang nyata, paling tidak untuk suatu saat tertentu.
(Kaplan Sadock, 1998)
Halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan
tanpa stimulas yang nyata artinya klien menginterpretasikan sesuatu yang nyata
tanpa stimulus atau rangsangan tertentu.
(Mary C. Town Send, 1998)
Halusinasi adalah penyerapan tanpa adanya rangsangan
apapun pada panca indra seseorang yang sadar atau bangun, dasarnya bisa
psikotik, fungsional, organik ataupun histrik.
(Maramis, 1998)
B. JENIS HALUSINASI
Ø Halusinasi ada 5 macam yaitu pendengaran, penglihatan, pengecapan, penciuman, dan perabaan.
1.
Halusinasi pendengaran (auditorik) : Klien mendengar
suara-suara atau bunyi tidak sesuai dengan stimulus yang ada dan orang lain
tidak mendengarnya.
2.
Halusinasi penglihatan (vixual) : klien mendapat
gambaran yang jelas atau samar tanpa stimulus yang nyata dan orang lain tidak
melihatnya.
3.
Halusinasi penciuman (Olfaktori) : klien mencium bau
yang muncul tanpa stimulus yang nyata dan orang lain tidak menciumnya.
4.
Halusinasi pengecapan (gustaktori : klien merasa makan
sesuatu yang tidak nyata.
5.
Halusinasi perabaan (taktik) : klien merasakan sesuatu
pada tubuhnya tanpa stimulus yang nyata.
(Cancro & Lehmant, 2000)
Ø
Halusinasi
ada 7 jenis, yaitu:
1.
Pendengaran.
Karakteristik: Mendengar
suara-suara atau kebisingan paling sering suara orang. Suara berbentuk
kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang
klien bahkan sampai ke percakapan lengkap antara dua orang
2.
Penglihatan.
Karakteristik: Stimulus
visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar kartoon, bayangan
yang rimut atau kompleks. Bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan seperti
melihat monster.
3.
Penghidung.
Karakteristik: Membaui
bau-bauan tertentu seperti bau darah, urine atau feses, umunya bau-bauan yang
tidak menyenangkan. Halusinasi penghidung sering akibat stroke, tumor, kejang
atau dementia.
4.
Pengecap.
Karakteristik: Merasa
mengecap rasa seperti rasa darah, urine atau feses
5.
Perabaan.
Karakteristik: Mengalami
nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum listrik
yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
6.
Conesthetic.
Karakteristik: Merasakan
fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makanan, atau
pembentukan urine.
7.
Kinesthetik.
Karakteristik:Merasakan
pergerakan sementara tanpa bergerak.
(Stuart dan Laria, 2001 : 409)
C. RENTANG RESPON HALUSINASI
Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif
individu yang berada dalam rentang respon neurobiologi. Ini merupakan respon
persepsi paling maladaptif. Jika klien yang sehat persepsinya akurat, mampu
mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang di
terima mellui panca indra (pendengaran, pelihatan, penghidung, pengecapan, dan
perabaan), klien dengan hausinasi mempersentasikan stimulus panca indra
walaupun sebenarnya stimulus tersebut tidak ada. Diantara ke-2 respon tersebut
adalah respon individu yang karena sesuatu hal mengalami kelainan persepsi
yaitu salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya yang disebut sebagai
ilusi. Klien mengalami indera tidak akurat sesuai stimulus yang diterima.
Rantang respon tersebut dapat digabarkan sebagai berikut
:
Respon adaptif Respon maladaptif
-
Pikiran logis - Distori pikiran - Gangguan
pikir/delusi
-
Persepsi akurat - Ilusi - Halusinasi
-
Emosi konsisten - Reaksi emosi - Sulit berespon
emosi
dengan pengalaman berlebihan atau
kurang
-
Perilaku sesuai - Perilaku aneh atau - Perilaku disorganisasi
Tidak biasa
-
Berhubungan sosial - Menarik diri - Isolasi sosial
(Stuart
dan Laria, 2001 : 403)
D. FASE-FASE HALUSINASI
Halusinasi yang dialami oleh klien bisa berbeda
intensitas dan keparahannya berdasarkan tingkat asisten yang dialami dan
kemampuan klien mengendalikan dirinya, fase halusinasi dibagi menjadi 4.
Semakin berat fase halusinasi, klien semakin berat mengalami ansietras dan
makin dikendalikan oleh halusinasinya.
Tabel
fase-fase halusinasi :
Fase I :
Comforting Ansietas Sedang,
Halusinasi menyenangkan
Ø
Karakteristik:
Klien mengalami perasaan mendalam seperti asietas, kesepian, rasa
bersalah dan takut dan mencoba untuk berfokus pada pikiran menyenangkan untuk meredakan ansietas.
Individu mengalami bahwa pikiran-pikiran dan pengalaman sensori berasda dalam
kendali kesadaran jika asietas dapat ditangani
Ø Perilaku klien: Tersenyum atau ketawa yang tidak sesuai.
Menggerakkan bibir tanpa suara. Pergerakan mata yang cepat. Respon verbal yang lambat jika sedang asyik. Diam dan asyik sendiri
Fase II : Coneming Asientas Berat, halusinasi menjadi menjijikkan.
Ø
Karakteristik:
Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan.
Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak
dirinya dengan sumber yang dipesepsikan. Klien mungkin mengalami dipermalukan
oleg pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain.
Ø Perilaku klien: Meningkatnya
tanda-tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan denyuit
jantung, pernafasan dan tekanan darah. Rentang perhatian menyempit. Asyik
dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dan
realita.
Fase III : Controling Asietas Berat pengalaman Sensori menjadi berkuasa
Ø Karakteristik: Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi menjadi menarik. Klien mungkin mengalami pengalaman kesepian jika sensori halusinasi berhenti.
Ø Perilaku klien: Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti. Kesukaran berhubungan dengan orang lain. Rentang perhatin hanya beberapa detik atau menit. Adanya tanda-tanda fisik, anseitas berat : berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah.
Fase IV : Conquering Panik
Umumnya menjadi melebur dalam halusinasinya.
Ø
Karakteristik:
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah
halusinasi. Halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak ada
intervensi terasa peutik
Ø
Perilaku
klien: Perilaku teror akibat panik. Potensi kliat suicide atau homicide.
Aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku kekerasan,
agitas, menarik diri, atau katatonia. Tidak
mampu berespon terhadap perintah yang komplex. Tidak mampu berespon lebih dari
1 orang.
(Stuart dan Laria, 2001 : 424)
BAB III
ASUHAN
KEPERAWATAN PASIEN DENGAN HALUSINASI
A. PENGKAJIAN KLIEN HALUSINASI
Halusinasi merupakan salah satu gejala dan menentukan
didiagnosisnya klien mengalami psikotik, khususnya schizophrenia. Pengkajian
klien dengan halusinasi dengan demikian merupakan proses indentifikasi data
yang tidak melekat erat dengan pengkajian respon neurobiologi lainnya seperti
yang terdapat juga pada schizophrenia.
a.
Faktor Predisposisi
a.
Faktor genetis
Telah
diketahui bahwa secara genetis schizophrenia diturunkan melalui
kromosom-kromosom tertentu. Namun demikian kromosom yang ke berapa yang menjadi
faktor penentu gangguan ini, sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Di
duga letak gen schizophrenia ada dikromosom no. 6. dengan kontribusi genetik
tambahan no. 4, 8, 15 dan 22. Anak kember identik memiliki kemungkinan
mengalami schizophrenia sbesar 50 % jika salah satunya mengalami schizophrenia,
sementara jika di zigote peluangnya sebesar 15 %. Seorang anak yang salah satu
orang tuanya mengalami schizophrenia berpeluang 15 % mengalami schizophrenia,
sementara bila kedua orang tuanya schizophrenia, maka peluangnya menjadi 35 %.
b.
Faktor neurobiologi
Ditemukan
bahwa koetex prefrontal dan kortex limbik pada klien schizophrenia tidak pernah
berkembang penuh. Ditemukan juga pada klien schizophrenia terjadi penurunan
volume normal, khususnya dopamin, serotonin dan glutamat.
c.
Studi neurotransmiter
Schizophrenia diduga juga
disebabkan oleh adanya ketidak seimbangan neurotransmiter. Dopamin berlebihan,
tidak seimbang dengan kadar serotin.
d.
Teori virus
Paparan
virus influenze pada trimester ke-3 kehamilan dapat menjadi faktor predisposisi
schizophrenia.
e.
Psikologis.
Beberapa
kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi schizophrenia antara lain:
anak yang diperlakukan oleh ibu yangpencemas, terlalu melindungi, dingin dan
tak berperasaan, sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya.
b.
Faktor Presipitasi
a.
Berlebihannya proses informasi pada sistem syaraf yang
menerima dan memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
b.
Mekanisme gejala penghantar listrik di syaraf
terganggu.
c.
Gejala-gejala pemicu seperti kondisi kesehatan,
lingkungan, sikap dan perilaku.
v Kesehatan
:
a.
Nutrisi kurang
b.
Kurang tidur
c.
Ketidakseimbangan irama, sirkadian
d.
Kelelahan
e.
Infeksi
f.
Obat-obat sistem syaraf pusat
g.
Kurangnya latihan
h.
Hambatan untuk menjangkau pelayanan kesehatan
v
Lingkungan :
a.
Lingkungan yang memusuhi
b.
Masalah dirumah tangga
c.
Kehilangan kebebasan hidup
d.
Perubahan pola
hidup
e.
Kesukaran dalam hubungan dengan orang lain
f.
Isolasi sosial
g.
Kurangnya dukungan sosial
h.
Tekanan kerja (kurang ketrampilan dalam bekerja)
i.
Stigmasisasi
j.
Kemiskinan
k.
Kurangnya alat trasportasi
l.
Ketidakmampuan mendapat pekerjaan
v
Sikap dan perilaku :
a.
Merasa tidak mampu (harga diri rendah)
b.
Putus
asa (tidak percaya diri)
c.
Merasa gatal (Kehilangan motivasi menggunakan
ketrampilan diri)
d.
Kehilangan kendali diri (demoralisasi)
e.
Merasa punya kekuatan berlebihan dengan gejala tersebut
f.
Merasa malang
g.
Bertindak seperti orang lain dari segi usia maupun kebudayaan
h.
Rendahnya kemampuan sosialisasi
i.
Perilaku agresif
j.
Perilaku kekerasan
k.
Ketidakedukatan pengobatan
l.
Ketidakedukatan penanganan gejala
c.
Mekanisme kopling
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan
halusinasi meliputi :
a. Regresi
menjadi malas beraktivitas sehari-hari
b. Proyeksi
mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan tanggung jawab kepada
orang lain atau sesuatu benda
c. Menarik
diri sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal
d. Keluarga
mengingkari masalah yang dialami oleh klien
d.
Perilaku
Halusinasi benar-benar riil dirasakan oleh klien yang
mengalaminya seperti mimpi saat tidur. Klien mungkin tidak punya cara untuk
menentukan persepsi tersebut nyata. Sama halnya seperti seseorang yag
mendengarkan siaran ralaman cuaca dan tidak lagi meragukan orang yang berbicra
tentang cuaca tersebut. Ketidakmampuannya untuk mempersepsikan stimulus
secarariil dapat menyulitkan kehidupan klien. Karenaya halusinasi harus menjadi
prioritas untuk segera diatasi. Sangat penting untuk memberi kesempatan klien
menjelaskan tentang halusinasi yang dialaminya secara leluasa. Perawat
membutuhkan kemampuan untuk berbicara tentang halusinasi, karena dengan perbincangan
hausinasi dapat menjadi indikator sejauh mana gejala psikotik klien diatasi.
Untuk memfasilitasinya klien perlu dibuat nyaman untuk menceritakan perihal
halusinasinya.
Klien yang mengalami halusinasi serig kecewa karena
mendapatkan respon negatif ketika mereka menceritakan halusinasinya kepada
orang lain. Karenanya banyak klien kemudian enggan untuk menceritakan
pengalaman-pengalaman aneh halusinasinya. Kemampuan untuk bercakap-cakap
tentang halusinasi yag dialami oleh klien sangat penting untuk memastikan dan
menyalidasi pegalaman halusinasi tersebut. Perawat harus memiliki ketulusan dan
perhatian yang penuh untuk dapat memfasilitasi percakapan tentang halusinasi.
Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung pada jenis
halusinasinya.
Apabila perawat mengidentifikasi adanya tanda-tanda dan
perilaku halusinasi maka pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya
sekedar mengetahui jenis halusinasinya saja. Validasi informasi tentang
halusinasi yang diperlukan meliputi :
a.
Isi halusinasi yang dialami oleh klie
Ini
dapat dikaji dengan menyatakan suara siapa yang didengar, berkata apabila
halusinasi yang dialami adalah halusinasi dengar. Atau apa bentuk bayangan yang
dilihat oleh klien, bila jenis halusinasinya adalah halusinasi [englihatan, bau
apa yang tercium untuk halusinasi penghidu. Rasa apa yang dikecap untuk
halusinasi pengecapan atau merasakan apa dipermukaan tubuh bila halusinasi
perabaan.
b.
Waktu dan frekuensi halusinasi
Dapat dikaji dengan menanyakan pada klien kapan
pengalaman halusinasi itu muncul berapa kali sehari, seminggu atau sebulan
pengalaman halusinasi muncul. Bila mungkin klien diminta menjelaskan kapan
persisnya waktu halusinasi tersebut. Informasi ini penting untuk
mengidentifikasi pencetus halusinasi dan menentukan bilamana klien perlu
diperhatikan saat mengalami halusinasi
c.
Situasi pencetus halusinasi
Dapat dikaji dengan menanyakan persitiwa atau kejadian
yang dialami sebelum halusinasi muncul. Perawat juga bisa mengobservasi apa
yang dialami klien menjelang muncul halusinasi memvalidasi pernyataan klien.
d.
Respon klien
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah
mempengaruhi klien bisa dikaji dengan menanyakan apa yang dilakukan oleh klien
saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien masih bisa mengontrol
stimulus halusinasi atau sudah tidak berdaya lagi terhadap halusinasi
(Akemat, 2002)
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Klien mengalami halusinasi dapat kehilangan kontrol
dirinya sehingga bisa membahayakan diri sendiri, orang lain maupun merusak
lingkungan. Hal ini terjadi jika halusinasi sudah sampai ke fase IV, dimana
klien mengalami panik dan perilakunya dikendalikan oleh isi halusinasinya.
Klien benar-benar kehilangan kemampuan penilaian realitas terhadap lingkungan.
Dalam situasi ini klien dapat melakukan bunuh diri (suicide), membunuh orang
lain (homicide), bahkan merusak
lingkungan.
Selain masalah yang diakibatkan oleh halusinasi,
klien biasanya juga mengalami masalah-masalah keperawatan yang menjadi penyebab
munculnya halusinasi. Masalah-masalah itu antara lain harga diri rendah dan
isolasi sosial
(Stuart
dan Laria, 2001).
Akibat rendah diri dan kurangnya ketrampilan
berhubungan sosial klien menjadi menarik diri dan lingkungan. Dampak
selanjutnya klien akan lebih terfokus pada dirinya. Stimulus internal menjadi
lebih dominan dibanding stimulus internal dengan eksternal. Ini memicu
terjadinya halusinasi.
Dari masalah-masalah tersebut, maka dapat disusun
pohon maslah sebagai berikut :
Resiko mencederai diri sendiri, orang
lain dan lingkungan
Perubahan sensori persepsi :
halusinasi ….. (masalah utama)
Isolasi sosial : menarik diri
Gangguan konsep diri : harga diri rendah
(Kelit, 1999)
Dari pohon masalah diatas dapat dirumuskan diagnosa
keperawatan sebagai berikut :
1)
Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan
ingkungan berhubungan dengan halusinasi …
2)
Perubahan sensori persepsi : halusinasi … b.d menarik
diri
3)
Isolasi sosial : menarik diri berhubugan dengan harga
diri rendah.
(Akemat,
2002)
C. TUJUAN ASUHAN KEPERAWATAN
Tujuan asuhan keperawatan
pada klien halusinasi adalah sebagai berikut :
1)
Klien dapat membina hubungan saling percaya
2)
Klien mengenal halusinasi yang dialaminya.
3)
Klien dapat mengontrol halusinasi
4)
Klien mendapat dukungan keluarga untuk mengontrol
halusinasi
5)
Klien dapat memanfaatkan obat untuk mengatasi
halusinasi.
(Akemat, 2002)
D. TINDAKAN KEPERAWATAN
Tindakan keperawatan untuk membantu klien mengatasi
halusinasinya dimulai dengan membina hubugan saling percaya dengn klien.
Hubungan saling percaya sangat penting dijalin sebelum mengintervensi klien lebih
lanjut. Pertama-tama klien harus difasilitasi untuk merasa nyaman mencritakan
pengalaman aneh halusinasinya agar informasi tentang halusinasi yang dialami
oleh klien dapat diceritakan secara komprehensif. Untuk itu perawat harus
meperkenalkan diri, membuat kontrak asuhan dengan klien bahwa keadaan perawat
harus betul-betul untuk membantu klien. Perawat juga harus sabar,
memperlihatkan penerimaan yang tulus dan aktif mendengar ungkapan klien saat
menceritakan halusinasinya. Hindarkan menyalahkan klien atau mentertawakan
klien walaupun pengalaman halusinasi yang diceritakan sangat aneh dan
menggelikan bagi perawat. Perawatharus bisa mengendalikan diri agar tetap
terapeutik.
Setelah hubungan saling percaya terjalin intervensi
keperawatan selanjutnya nyadari bahwa pengalaman aneh halusinasi sebagai
sesuatu yang harus diatasi. Untuk menyadarkan klien perawat harus mengehindari
me-judgement bahwa persepsi klien salah. Perawat harus berupaya membawa klien
pada kesadaran bahwa halusinasi sebagai riil tanpa meyalahkan klien. Untuk itu
perawat bisa mengatakan bahwa ia sepenuhnya mengerti dan percaya bahwa klien
mengalami pengalaman aneh tersebut, namun harus juga dikatakan bahwa perawat
tidak mengalami seperti yang dialami oleh klien.
Membantu klien mengenali halusinasi juga dapat dilakukan
dengan berdiskusi dengan klien tentang isi halusinasi, aktu dan frekuensi
terjadinya halusinasi serta apa yang klien lakukan jika halusinasi itu muncul.
Apakah klien mengkonsumsi zat atau obat-obatan tertentu. Ada obat-obatan tertentu
yang bersifat halusigonik. Karena itu pengkajian tentang obat atau zat yang
dikonsumsi sebelumya perlu dilakukan. Klien juga perlu difasilitasi untuk
meneritakan perbedaan kondisinya saat mengalami halusinasi dengan saat sebelum
atau sesudah pengalaman halusinasi tersebut muncul. Bantu klien untuk
menguraikan pikiran, perasaan dan tindakannya yang berkaitan dengan halusinasi
yang dialami. Klien juga perlu dibantu untuk nenyadari apa kebutuhan yang tidak
terpenuhi sehingga muncul dalam berbagai tindakan ini diharapkan klien akan
mengenal hausinasi sebagai masalah yang perlu diatasi sehingga akan termotivasi
untuk melakukan tindakan atau terapi mengontrol halusinasi yang dialaminya.
Setelah kien menyadari halusinasi yang dialaminya adalah
masalah yang harus diatasi maka selanjutya klien perlu dilatih bagaimana cara
yang bisa dilakukan dan terbukti efektif mengatasi halusinasi. Proses ini
dimulai dengan mengkaji pengalaman klien mengatasi halusinasi (jika klien
pernah mencobanya). Bila ada beberapa usaha klien telah dilakukan untuk
mengatasi halusinasi, perawat perlu mendiskusikan efektifitas dari cara
tersebut.
Cara yang paling efektif bisa diterapkan, sementara jika
cara yang dilakukan tidak efektif perawat dapat membantu dengan cara-cara beru.
Ada beberapa cara yang bisa dilatihkan kepada klien untuk mengatasi halusinasi,
meliputi :
1)
Menghardik halusinasi.
Halusinasi berasal dari stimulus internal. Untuk
mengatasinya klien harus dilatih untuk melawan halusinasi yang dialaminya
secara internal juga. Klien dilatih untuk mengatakan “tidak mau dengar …, tidak
mau lihat”. Ini dianjurkan untuk dilakukan bila halusinasi muncul setiap saat
2)
Berinteraksi dengan orang lain.
Klien dianjurkan meningkatkan ketrampilan hubungan
sosialnya. Dengan meningkatkan intensitas interaksi sosialnya, klien dapat
memvalidasi persepsinya pada orang lain. Klien juga mengalami peningikatan
stimulus external jika berhubungan dengan orang lian. Dan ahl ini akan
mengurangi fokus perhatian klien terhadap stimulus internal yang menjadi sumber
halusinasinya.
3)
Beraktivitas secara teratur dengan menyusun kegiatan
harian.
Kebanyakan halusinasi muncul akibat banyaknya waktu
luang yang tidak dimanfaatkan dengan baik oleh klien. Klien akhirnya asyik
dengan halusinasinya. Untuk itu klien perlu dilatih menyusun rencana kegiatan
dari sejak bangun tidur sampai enjelang dari tidur malam hari dengan kegiatan
yang bermanfaat. Perawat harus selalu : memonitor pelaksanaan kegiatan tersebut
sehingga klien betul-betul tidak ada waktu lagi untuk melamun tidak terarah.
4)
Menggunakan obat.
Munculnya halusinasi akibat adanya ketidakseimbangan
neurotransmiter di syaraf (dopamin, serotojin). Untuk itu klien perlu diberi
penjelasan bagaimana kerja obat dapat mengatasi halusinasi. Serta bagaimana
mengkonsumsi obat secara tepat sehingga tujuan pengobatan tercapai secara
optimal. Pendidikan kesehatan dapat dilakukan dengan materi 5 benar dalam
pemberian obat agar klien patuh untuk menjalankan pengobatan secara tuntas dan
teratur
Keluarga perlu diberi penjelasan tentang bagaimana
penanganan klien yang mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan kelaurga.
Hal ini penting dilakukan dengan dua alsan. Pertama keluarga adalah sistem
diaman aklien bevasal. Pengaruh sikap keluarg akan sangat menentukan kesehatan
jiwa klien. Klien mungkin sudah mampu
mengatasi masalahnya, tetapi jika tidak didukung secara kuat klien bisa
mengalami kegagalan lagi. Halusinasi bisa kambuh lagi. Alasan kedua halusinasi
sebagai salah satu gejala psikosis bisa berlangsung lama (kronis), sekalipun
klien pulang kerumah mungkin masih mengalami halusinasi. Dengan mendidik
keluarga tentang cara penanganan halusinasi diharapkan keluarga dapat menjadi
“terapis” begitu klien kembali dan hidup dirumah.
Untuk mengendalikan halusinasi, biasanya dokter
memberikan psikofarmaka. Untuk itu selain terapi keperawatan, perawat juga
perlu memfasilitasi klin untuk dapat menggunakan psikofarmaka secara tepat.
Prinsip 5 benar harus menjadi fokus utama dalam pemberian obat. Bila
pngendalian dengan obat ini telah berhasil terapi keperawatan akan dapat diterapkan
dengan lebih optimal.
(Akemat, 2002).
E. EVALUASI
Asuhan keperawatan klien dengan halusinasi berhasil
jika klien menunjukkan kemampuan mandiri untuk mengontrol halusinasi dengan
cara yang efektif yang dipilihnya. Klien juga diharapkan sudah mampu
melaksanakan program pengobatan berkelanjutan mengingat sifat penyakitnya yang
kronis.
Evaluasi asuhan keperawatan berhasil jika keluarga klien
juga menunjukkan kemampuan menjadi sistem pendukung yang efektif untuk klien
mengatasi masalah gangguan jiwanya. Kemampuan merawat dirumah dan menciptakan
lingkungan kondusif bagi klien dirumah menjadi ukuran keberhasilan asuhan
keperawatan disamping pemahaman keluarga untuk merujuk kefasilitas kesehatan
yang sesuai jika muncul gejala-gejala velaps.
(Akemat, 2002).
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Halusinasi merupakan persepsi yang timbul tanpa
stimulus yang nyata. Jika pasien mempunyai harga diri rendah atau bahkan sering
menarik diri dari lingkungan sosialnya, halusinasi ini akan sering muncul sehingga
pasien tak mampu lagi mengontrol dirinya. Akibat lanjut yang sering terjadi
adalah tindakan untuk mencederai diri sendiri, orang lain atau merusak
lingkungan. Diperlukan adanya komunikasi dan hubungan saling percaya antara
perawat dan pasien. Disamping itu, diperlukan juga peran keluarga sebagai orang
terdekat yang juga memegang peranan penting dalam proses penyembuhan pasien.
B. SARAN
1.
Diharapkan mahasiswa sebagai calon-calon perawat harus
mengusai teknik-teknik trapeutik, khususnya pada pasien dengan gangguan
halusinasi.
2.
Diharapkan para tenaga kesehatan, khususnya perawat
mampu melakukan pendekatan kepada pasien, sehingga mempermudah dalam memberikan
asuhan keperawatan
3.
Adanya hubungan saling percaya antara perawat dan
pasien, maupun keluarga dengan pasien sangat menunjang proses kesembuhan pasien
4.
Jangan bersikap acuh pada pasien, tapi berilah
kepercayaan bahwa pasien merupakan individu yang memegang peranan penting dalam
kehidupannya.
DAFTAR
PUSTAKA
A Kemat, S.Kep. 2002. Asuhan Keperawatan Klien dengan Perubahan
Persepsi Sensori. Pelatnas ASKEP Jiwa, Bogor.
Koplan H.I. MD amd Sadock BJ MD Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat,
Widy Medika Jakarta.
Maramis, W.F. 1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Airlangga
University Press Surabaya.
Stuart, G.W. dan Laria, M.T. 2001. Principles and Practice of
Psychiatrie Nursing, St. Louis : Mosby
Stuart, G.W dan Sundeen, S.J. 1995. Buku Saku Keperawatan Jiwa.
Edisi ke Tiga Cetakan Pertama EGC, Jakarta
Towsend M.C. 1998. Buku Saku Diagnosa pada Keperawatan Psikiatri. Edisi ke-3 Cetakan Pertama,
EGC, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar